Minggu, 30 Oktober 2011

PKn ..., Oh ..., PKn....


Setiap mengawali tahun ajaran baru, segera setelah menerima tumpukan buku paket dari sekolah, aku selalu "mencuri start" untuk mempelajari, atau paling tidak, membaca sepintas isinya. Aku ingin mendapatkan gambaran umum tentang apa yang akan dipelajari Diby selama satu tahun, mana materi yang sudah kukuasai dan mana yang belum. Biasanya, aku akan mempersiapkan diri juga untuk memahami materi yang belum kukuasai, supaya kalau nanti Diby ternyata mengalami kesulitan memahami materi itu dan bertanya padaku, aku sudah siap dengan jawaban. Menghemat tenaga dan waktu, bukan? Dengan modal ini, aku merasa percaya diri dan siap untuk melakukan pendampingan selama satu tahun ajaran.

Dari pengalamanku melakukan pendampingan sejak di bangku kelas 1, aku tahu pasti bahwa kelemahan Diby adalah dalam hal pemahaman kalimat. Diby lebih mudah memahami sebuah persamaan Matematika (yang cukup rumit dan banyak tanda kurung sekalipun) daripada harus mencerna soal cerita. Diby juga lebih mudah memahami (bukan sekedar hafal) bagian-bagian mata dan fungsinya dengan cara melihat gambarnya. Jadi sepertinya dia memang seorang "visual learner"...

Saat Diby kelas 2, aku mulai melihat adanya peningkatan potensi kesulitan yang akan dialaminya. Makin banyak kalimat panjang dan abstrak, dan makin sedikit gambar yang tersaji dalam buku paket. Maka sebisa mungkin aku mencarikan berbagai materi tambahan berupa gambar untuk membantunya memahami materi pelajaran. Satu tahun di kelas 2 pun terlewati dengan baik, bahkan nilai-nilainya terlihat meningkat. Aku pun bisa berlega hati karena merasa cara pendampinganku sudah tepat.

Naik ke kelas 3..., makin berat juga tantangan buat Diby. Buku cetak IPS-nya penuh dengan definisi kenampakan alam yang hanya dilengkapi dengan gambar ala kadarnya. Aku bisa merasakan tingkat ketegangan yang meninggi saat Diby belajar. Dia bahkan sering terbalik memahami sebuah teluk dan tanjung dengan uraian: "teluk adalah lautan yang menjorok ke daratan" dan "tanjung adalah daratan yang menjorok ke lautan". Tapi kesulitan segera teratasi setelah aku membeli sebuah peta Indonesia dalam ukuran besar. Diby bisa melihat bentuk teluk dan tanjung, dan akhirnya bisa dengan lancar membedakan keduanya. Diby juga bisa menghafal dengan lebih mudah nama-nama pulau, selat, gunung, danau, dan sebagainya, setelah mengetahui letaknya di peta. Dan kelas 3 pun bisa terlewati dengan cukup mulus. Prestasinya juga masih stabil.

Sekarang Diby sudah kelas 4. Makin terlihat bahwa dia menyukai pelajaran IPA, Bahasa Inggris, dan (tentu saja) Kesenian. Pemahamannya tentang soal cerita Matematika sudah cukup meningkat, meskipun kadang terlihat masih membutuhkan konsentrasi yang cukup keras. IPS cukup menyulitkan karena mulai ada timbunan hafalan lagi tentang kekayaan alam Indonesia dan daerah-daerah penghasilnya. Sampai saat ini aku masih berusaha menggunakan berbagai gambar untuk membantunya memahami supaya lebih mudah menghafal. Peta Indonesia berukuran besar pun masih terpasang di dinding kamarnya.

Tapi ternyata tidak semua materi dapat dibantu dengan gambar. Cukup banyak juga materi yang penuh berisi penjelasan yang bersifat abstrak, terutama materi yang terdapat dalam mata pelajaran PKn. Aku sempat kehabisan akal. Apa yang bisa kulakukan untuk membantu seorang anak kelas 4 SD memahami materi Pemerintahan Daerah? Cling.....! Ide pun muncul lagi. Aku mengajaknya memahami dengan gerak dan syair. Misalnya saat dia berusaha memahami definisi "desa" sesuai dengan penjabaran dalam bukunya.

Beginilah hasilnya:
"Desa adalah... kesatuan masyarakat (mengatupkan kedua telapak tangan)...,
yang diatur oleh hukum (tangan kanan menggenggam dengan jari telunjuk teracung seperti mengancam)...,
dan memiliki batas-batas wilayah (membuat lingkaran besar abstrak dari atas kepala hingga ke depan dada)...,
mempunyai jumlah penduduk tertentu (membuat titik-titik dengan menunjuk-nunjuk ke dalam lingkaran abstraknya tadi)...,
dan mempunyai adat istiadat setempat (kedua tangannya meliuk membuat gerakan seperti menari)..."

Berhasil...! Diby pun bisa memahami terbentuknya sebuah desa... hahaha.....

Akhirnya Diby bisa belajar sendiri di kamarnya. Sayup-sayup aku mendengar dia menggumamkan beberapa kata. Beberapa kali kuintip, kulihat tangannya melambai ke sana ke mari mengarang gerakan yang (menurutnya) bermakna. Sekuat hati aku menahan tawa dan berlalu dari ambang pintu kamarnya. "Anak yang tabah," pikirku.

Tapi..., di saat aku baru mulai berlega hati dan meneruskan lagi pekerjaanku yang tertunda..., "Maaaahh....., kalau ini gimana?" Mataku tertumbuk pada kalimat panjang pada buku yang "menghampar" di ujung telunjuk kanannya.

"Tugas Koramil adalah menyelenggarakan pembinaan teritorial yang meliputi pembinaan geografi/daerah demografi dan membina kondisi sosial"

Hadoooooohh....., Bapak/Ibu Penulis, Editor, dan Penerbit yang budimaaaaaann....., tolong, dooooong..... Mbok, ya o, dicarikan kata-kata yang mudah dimengerti oleh anak yang belum lagi berusia 10 tahun to, yaaaa......

(*garuk-garuk kepala yang mendadak terasa seperti diserbu ratusan kutu*)

== pengalaman mendampingi anak secara langsung yang dikisahkan oleh seorang kawan ===

Pelajaran PMP perlu diadakan lagi?

Fenomena minimnya empati anak-anak muda sekarang terhadap orang-orang yang lebih tua membuatku miris. Hal kecil saja, keengganan memberikan tempat duduk di kendaraan umum untuk wanita hamil/manula sering membuatku gemas. Padahal jaman aku remaja dulu, memberikan tempat duduk untuk wanita hamil/manula adalah hal lumrah. Apakah ini efek dari dihapuskanya mata pelajaran PMP & PPKn?

Kita tahu, sebelum reformasi-tepatnya di era orde baru, PMP (Pendidikan Moral Pancasila) menjadi mata pelajaran wajib dari SD sampai SMA. Ketika orde lama, kalau tidak salah, mata pelajaran ini bernama 'Budi Pekerti'. Namun ketika Suharto lengser, namanya berubah jadi PPKn (Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan). Seiring berjalannya waktu, mata pelajaran ini bertransformasi menjadi PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), tanpa embel2 kata 'moral', 'pancasila', atau 'budi pekerti'.


Bicara soal moral, krisis moral akut menyebabkan terenggutnya 1 nyawa tak berdosa di Cina. Yu Wen (2th) tewas setelah sepekan mati otak karena 2 kali terlindas mobil dan tidak ada yg menolongnya. Orang-orang yang melihatnya tergeletak di jalan tidak tergerak hatinya utk menolong.


Fenomena Yu Wen menyiratkan krisis moral parah di Cina. Seperti kita tahu, Cina adalah negara komunis yang melarang agama.


Dari fenomena di atas, dapatlah disimpulkan betapa pentingnya pendidikan moral, baik secara formal maupun informal. So, PR baru utk mendikbud, yaitu mengadakan kembali mata pelajaran PMP atau sejenisnya. Dan tentu saja PR untuk para orang tua, agar mengajarkan akhlak dan budi pekerti pada anak-anaknya sejak dini. 


== dikisahkan oleh seorang kawan Jati ==

PENDIDIKAN DALAM KELUARGA

"Pak, waktunya doa..!" seru si bungsu, anak temanku menyeru di tengah hangat perbincangan kami malam tadi. Bergegas lelaki single parent yang kukunjungi itu (tanpa sungkan meninggalkanku) masuk ke rumah dan menjalankan ritual malam mengantar tidur ketiga anaknya.

Bukan ketersinggungan yang kurasakan lantaran sebagai tamu merasa ditinggal begitu saja, namun justru kekaguman. Pertama, betapa lelaki ini teramat menghargai kebiasaan sederhana yang ia bangun dalam keluarganya. Kedua, lantaran bapak satu ini teguh menempatkan anak-anak di puncak prioritasnya.

"Pendidikan karakter, Mas!" jawab temanku seperti mau memenuhi rasa ingin tahuku, selepas ia tidurkan anak anaknya. "Aku ajak anak-anak saling menceritakan pengalaman sehari ini sebagai embrio jurnal harian, rekonsiliasi di antara mereka jika ada perselisihan, doa malam bersama, dan salaman serta berkat ciuman di dahi mereka. Kalau aku pas di tempat jauh, ya kulakukan itu dengan me-loudspeaker hapeku" imbuhnya.

Aku berkaca, betapa seringnya kutabrak rutinitas baik di rumah bersama istri dan anak, dengan alasan ada tamu istimewa, atau acara lain yang lebih penting, bla bla bla ... yang intinya menyatakan bahwa rutinitas rumah kita adalah kurang penting dan bisa dikalahkan oleh sejumlah alasan.


Aku berkaca-kaca menyadari bahwa selama ini akulah yang telah mengirim pesan ke anak-anak bahwa yang rutin kami lakukan adalah tidak penting, karena sewaktu-waktu kukhianati sendiri dengan beragam alasan yang bisa secara instan kuutarakan. Akulah yang tidak konsisten dan menyebabkan yang baik berhenti sebagai gagasan baik belaka.

Salam Pendidikan 

===kisah yang diceritakan oleh seorang kawan===